Kabupaten Bandung _lensadaerah.com
Warjabakti, Jum’at 13/9/2024 – Ketua Kelompok Tani Cipatra Mekar Desa Warjabakti Kecamatan Cimaung ,Uus Sujana mengungkapkan bahwa para petani di Kampung Cipatra, Desa Warjabakti, masih mengandalkan pola tani otodidak tanpa dibekali pengetahuan dasar. Salah satu contohnya adalah penggunaan alat pengukur pH tanah, yang menjadi landasan dasar untuk menentukan jenis tanaman yang cocok ditanam di lahan tersebut.
Potential Hydrogen (PH) tanah adalah tingkat keasaman atau kebasaan tanah yang diukur menggunakan skala 0–14. PH tanah merupakan faktor penting yang memengaruhi banyak proses kimia di dalam tanah, termasuk ketersediaan nutrisi tanaman. pH meter adalah power of Hydrogen (pangkat hidrogen). pengertiannya: pH meter adalah suatu alat elektronik yang berfungsi untuk mengukur pH (derajat keasaman/kebasaan) suatu cairan(ada elektroda khusus yang berfungsi untuk mengukur pH bahan-bahan semi-padat.
“Banyak petani di sini yang tidak tahu pasti jenis tanaman apa yang cocok untuk lahan mereka karena tidak memiliki pengetahuan dasar tentang PH tanah,” ujar Uus. “Mereka hanya mengandalkan Filling,pengalaman dan informasi dari mulut ke mulut, yang belum tentu akurat.”
Kurangnya pengetahuan dasar tentang pertanian berpotensi menyebabkan penurunan hasil panen dan kerugian bagi para petani. Uus berharap pemerintah dan instansi terkait dapat memberikan pelatihan dan pendampingan kepada para petani di Kampung Cipatra agar mereka memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai untuk meningkatkan hasil panen mereka.
Kelompok Tani Cipatra Mekar Mengeluh, Kebutuhan Pupuk Tak Terpenuhi
Uus, mengungkapkan bahwa kebutuhan pupuk di wilayahnya lebih dari 100 ton per musim tanam, namun kebutuhan tersebut tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan oleh klasifikasi zona pangan di wilayah tersebut yang tidak sesuai dengan realita.
“Berdasarkan keterangan dari LBKK, wilayah kami tergolong zona pangan,” jelas Uus. “Padahal, di wilayah kami, seperti Desa Malasari, Sukamaju, dan Warjabakti, mayoritas petani adalah petani holtikultura.”
Uus menjelaskan bahwa klasifikasi zona pangan tersebut membuat kuota pupuk yang diberikan tidak memenuhi kebutuhan para petani holtikultura. “Kami membutuhkan pupuk khusus untuk tanaman holtikultura, namun kuota yang diberikan hanya untuk tanaman pangan,” ungkapnya.
Uus berharap pemerintah dan instansi terkait dapat memperhatikan kebutuhan pupuk di wilayahnya dan melakukan penyesuaian klasifikasi zona pangan agar sesuai dengan realita. “Kami berharap pemerintah dapat memberikan solusi agar kebutuhan pupuk kami terpenuhi dan hasil panen kami dapat meningkat,” pungkasnya.
Agus/Betty.